Abstrak
Statistik menunjukkan daya serap penonton film Indonesia semakin rendah.Lima film Indonesia terlaris sampai
pertengahan 2012 adalah The Raid, Negeri 5 Menara, Hafalan Shalat Delisa, Nenek Gayung, dan Soegija. Secara
administratif, Hafalan Shalat Delisa memang tercatat sebagai film keluaran 2011 ada tiga film Indonesia yang melewati angka 600 ribu penonton sampai pertengahan tahun ini: The Raid, Negeri 5 Menara (765 ribu), dan Hafalan Shalat Delisa (642 ribu).
Satu hal yang kita bisa pelajari dari sini: film yang ramai ditonton adalah film yang mampu menarik ghost audience, atau kalangan penonton yang biasanya tak datang ke bioskop. Kantong penonton yang kecil ini kian dipersempit oleh pola pembangunan bioskop dua dekade terakhir ini yang menganut prinsip “satu mall, satu bioskop”. Seperti yang kita ketahui, hanya kalangan menengah-ke-atas yang rutin mengakses mall.
Sejumlah laporan media menyebutkan Hafalan Shalat Delisa banyak ditonton ibu-ibu pengajian, kalangan yang tak biasa
diasosiasikan dengan bioskop. Begitu juga halnya dengan Soegija. Lima tahun yang lalu, ada yang bisa membayangkan sebuah film tentang pastur beredar di jaringan bioskop komersial? Film epik yang disutradarai Garin Nugroho itu pun bisa bicara untuk dua kalangan penonton sekaligus. Benang merah dari semua ini adalah relevansi sosial dan nilai kebaruan, dua hal yang kian absen di kala film-film nasional makin seragam pola dan subyek penuturannya.
Modus produksi serba hemat ini jelas menjanjikan prospek ekonomi yang aman.Ada empat film horor dan horor-komedi yang jumlah penontonnya di bawah 100 ribu, suatu hal yang hanya terjadi dua kali sepanjang tahun lalu. Tanda-tanda kejenuhan? Bisa jadi.
Teks
Pada tanggal 14 Juni 2012, beredar sebuah kabar gembira dalam wujud gedung apartemen yang diserbu Iko Uwais, Joe
Taslim, dan kawan-kawan. Pada hari itu, The Raid sukses meraup 1,84 juta penonton seusai 11 minggu peredarannya di
bioskop. Prestasi tersebut tak saja membawa The Raid ke posisi puncak tangga box office film nasional sampai
pertengahan tahun ini, tapi juga ke posisi lima film Indonesia terlaris sepanjang masa. Pencapaian The Raid ini
jelas mengagumkan. Tahun lalu tak ada satu pun film Indonesia yang mampu melewati angka satu juta penonton. Surat
Kecil untuk Tuhan memuncaki box office film nasional dengan 748 ribu penonton, unggul tipis dari Arwah Goyang
Karawang yang meraup 727 ribu penonton. Gabungan jumlah penonton keduanya bahkan tak mampu melewati The Raid.
Angka-angka ini memang menggembirakan, namun kita tak boleh terbawa euforia The Raid begitu saja. Faktanya,
dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, jumlah penonton film Indonesia semester pertama tahun ini
menurun. Tak banyak memang, hanya selisih 40 ribuan. Tahun ini, terkumpul 7.952.203 penonton dari 46 film yang
beredar di bioskop. Tahun lalu, 7.993.081 dari 43 film.
Daya Serap dan Masa Tayang Film
Statistik menunjukkan daya serap penonton film Indonesia semakin rendah. Apabila kita memukul rata semua film, maka
kita akan mendapati rata-rata 172 ribu penonton per film untuk semester pertama tahun ini, turun sedikit dari
rata-rata tahun lalu: 185 ribu penonton per film. Apabila ditelisik berdasarkan genre, kita akan mendapati film
horor, genre film lokal yang mampu menarik penonton secara konstan, kali ini kurang cemerlang prestasinya. Bisa
ditebak kalau film horor bukanlah satu-satunya genre yang mengalami penurunan jumlah penonton.
Selama enam bulan terakhir, ada sembilan film horor beredar di jaringan bioskop nasional. Total penonton yang
diraup adalah 1,83 juta. Berarti, dalam semester ini, satu film horor rata-rata menyerap 204 ribu penonton. Dalam
periode yang sama tahun lalu, ada 10 film horor dengan total 2,34 juta penonton. Rata-rata per film adalah 293 ribu
penonton. Selisihnya sungguh signifikan, padahal masa tayang film horor cenderung lebih panjang dibanding genre
film lain. Di semeter pertama tahun ini, film horor rata-rata beredar delapan sampai sembilan minggu di bioskop.
Bandingkan dengan drama yang hanya lima-enam minggu, komedi empat-lima minggu, dan horor-komedi enam minggu.
Film drama, genre film lokal yang paling banyak diproduksi setidaknya dalam empat tahun terakhir, di semester
pertama tahun ini mengumpulkan 3,2 juta penonton dari 23 film. Di periode yang sama tahun lalu, terkumpul 3,33 juta
dari 21 film. Rata-rata penonton pun menurun dari 158 ribu ke 139 ribu penonton per film. Horor-komedi setali tiga
uang, malah lebih drastis. Tahun lalu, horor-komedi mampu meraih 1,76 juta penonton dari lima film. Tahun ini, 236
ribu penonton saja dari tiga film.
Komedi adalah satu-satunya genre yang tak mengalami penurunan. Jumlah penonton meningkat seiring naiknya jumlah
film, dari 209 ribu penonton dari tiga film komedi di semester pertama tahun lalu ke 512 ribu penonton dari tujuh
film komedi tahun ini. Rata-rata penonton pun naik: dari 69 ribu ke 73 ribu penonton per film. Film komedi ternyata
memiliki daya serap penonton yang cukup stabil, walau tak banyak.
Bisa diperkirakan satu genre yang mengalami lonjakan besar-besaran adalah film laga. Di semester pertama tahun
lalu, ada Pirate Brothers yang mendatangkan 64 ribu penonton dari 10 minggu penayangannya. Kalah jauh dibanding The
Raid, satu-satunya film laga Indonesia dalam enam bulan terakhir, yang memperoleh 1,8 juta penonton dari 11 minggu
peredarannya di bioskop. Namun ini adalah kasus khusus, mengingat film laga belumlah menjadi genre yang diproduksi
dalam skala besar. Belum bisa ditentukan apakah film laga merupakan genre yang berdaya serap penonton tinggi atau
tidak.
Berkurangnya jumlah penonton bukanlah fenomena kemarin sore. Box office sinema Indonesia sudah berada di lintasan
menurun sejak empat tahun lalu. Tahun 2008 perfilman nasional sukses mendatangkan 32 juta penonton ke bioskop,
hampir dua kali lipat dari pencapaian tahun sebelumnya: 17 juta penonton. Sinyal tanda bahaya mulai dibunyikan pada
tahun 2010, ketika jumlah penonton film nasional berkurang hampir setengah: dari 30 juta di tahun 2009 ke angka 16
juta. Tahun berikutnya jumlah penonton kembali turun, ke angka 14 juta. Kali ini, tak ada satu pun dari 84 film
Indonesia tahun 2011 yang melewati angka satu juta penonton. Padahal, dari tahun 2007 sampai tahun 2010, selalu ada
minimal satu film Indonesia yang menembus angka satu juta penonton.
Hal lainnya yang juga terus menurun, setidaknya dalam dua tahun terakhir, adalah masa tayang film Indonesia. Ada
lapangan main yang berbeda bagi film impor dan film nasional. Apabila jaringan bioskop nasional diibaratkan sebuah
toko, maka film Indonesia tak pernah ada di rak terdepan. Setiap ada film impor baru beredar, korbannya adalah
layar film Indonesia. Ini sangat kentara di semester pertama tahun ini, ketika pasokan film impor secara rutin
menyambangi jaringan bioskop nasional. Rata-rata masa tayang film Indonesia dalam enam bulan terakhir adalah enam
minggu. Bandingkan dengan tahun lalu ketika Motion Pictures Association of America melakukan embargo impor film ke
Indonesia dari Maret sampai Juli. Tanpa adanya film-film impor untuk mengisi layar, film Indonesia praktis
memperoleh jatah pemutaran yang lebih besar dari biasanya. Rata-rata masa tayangnya delapan minggu.
Analisa berdasarkan genre akan menunjukkan gambaran yang lebih sistematik terkait dengan penurunan masa tayang ini.
Film horor dalam semester pertama tahun lalu rata-rata tayang di bioskop selama 12 minggu. Tahun ini hanya enam
minggu. Film horor tahun lalu rata-rata beredar selama sembilan minggu. Tahun ini delapan minggu. Nasib film drama
dan komedi juga tak lebih baik. Tahun lalu film drama rata-rata tayang enam minggu di bioskop, tahun ini lima
minggu saja. Film komedi walaupun jumlah penontonnya meningkat tahun ini, rata-rata masa tayangnya turun dari enam
minggu di tahun lalu jadi empat minggu di tahun ini. Genre yang biasanya laris penonton macam horor dan
horor-komedi tak akan mampu menjaring penonton kalau masa tayangnya dikebiri seperti ini. Bisa dibayangkan betapa
terjalnya jalan yang dihadapi box office film Indonesia ke depannya.
Ke Mana Penonton Film Indonesia?
Meski begitu, kita masih punya cukup alasan untuk berpikir optimis. Betul, film Indonesia mengalami penurunan
penonton di semester gasal ini, walau lebih banyak film beredar tahun ini dibanding periode yang sama tahun lalu.
Betul, jatah film Indonesia di bioskop terus-menerus digerus oleh jaringan bioskop nasional yang prioritasnya
melariskan film impor. Namun, di hadapan segala batasan ini, film Indonesia masih mampu mendekati pendapatan
semester gasal tahun lalu dan hanya selisih 40 ribu saja. Lebih signifikannya lagi, box office semester gasal tahun
ini mampu melampaui puncak pencapaian box office film Indonesia tahun lalu, dan bukan The Raid saja yang mampu
melakukan itu.
Lima film Indonesia terlaris sampai pertengahan 2012 adalah The Raid, Negeri 5 Menara, Hafalan Shalat Delisa, Nenek
Gayung, dan Soegija. Secara administratif, Hafalan Shalat Delisa memang tercatat sebagai film keluaran 2011. Film
tersebut beredar mulai 22 Desember 2011. Namun, dari 11 minggu masa tayangnya di bioskop, 10 di antaranya terjadi
di Januari dan Februari 2012. Cukup masuk akal rasanya mengikutsertakan pendapatan film garapan Sony Gaokasak itu
dalam percaturan box office tahun ini. Hafalan Shalat Delisa bersama empat film lainnya sukses menarik 4,09 juta
penonton ke bioskop. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari pendapatan lima besar semester pertama tahun lalu. Arwah
Goyang Karawang, Tanda Tanya, Purple Love, Catatan Harian Si Boy, dan Kuntilanak Kesurupan hanya mampu meraup 2,69
juta penonton.
Sampai pertengahan tahun ini, sudah ada tiga film Indonesia yang melewati angka 600 ribu penonton sampai
pertengahan tahun ini: The Raid, Negeri 5 Menara (765 ribu), dan Hafalan Shalat Delisa (642 ribu). Di periode yang
sama tahun lalu, hanya Arwah Goyang Karawang yang mampu melewati angka tersebut. Film yang dibintangi Dewi Perssik
dan Julia Perez tersebut memuncaki box office nasional dari bulan Februari, sampai akhirnya digeser Surat Kecil
untuk Tuhan pada bulan Agustus. 82 film Indonesia lainnya, kecuali Poconggg Juga Pocong (beredar 24 November 2011),
mentok di kisaran 500 ribu penonton.
Satu hal yang kita bisa pelajari dari sini: film yang ramai ditonton adalah film yang mampu menarik ghost audience,
atau kalangan penonton yang biasanya tak datang ke bioskop. Ini terkait erat dengan infrastruktur ekshibisi yang
tak mampu mengakomodir 237 juta penduduk Indonesia. Sampai tulisan ini dibuat, ada 152 bioskop dengan total 672
layar. Dalam hitungan kasar, berarti satu layar harus bertanggung jawab untuk sekitar 353.000 penonton. Sebuah
beban yang mustahil, bukan saja karena kapasitas studio bioskop berkisar dari 150 sampai 300 orang, tapi juga
karena 78% bioskop ada di Pulau Jawa. Bioskop-bioskop di luar Jawa terbatas pada kota-kota besar saja. Alhasil,
kantong penonton film Indonesia tidaklah besar. Kantong penonton yang kecil ini kian dipersempit oleh pola
pembangunan bioskop dua dekade terakhir ini yang menganut prinsip “satu mall, satu bioskop”. Seperti yang kita
ketahui, hanya kalangan menengah-ke-atas yang rutin mengakses mall.
Mari kita perhatikan film-film yang sukses mendatangkan lebih dari satu juta penonton selama lima tahun terakhir.
Tahun 2007 ada Get Married (1,4 juta penonton), Nagabonar Jadi 2 (1,3 juta), Terowongan Casablanca (1,2 juta), dan
Quickie Express (1 juta). Box office tahun 2008 didominasi oleh Laskar Pelangi (4,6 juta), Ayat-ayat Cinta (3,5
juta), dan Tali Pocong Perawan (1,08 juta). Tahun 2009 yang paling banyak. Ada enam film yang berjaya: Ketika Cinta
Bertasbih (3,1 juta), Ketika Cinta Bertasbih 2 (2 juta), Sang Pemimpi (1,7 juta), Garuda Di Dadaku (1,3 juta), Get
Married 2 (1,1 juta), dan Air Terjun Pengantin (1,06 juta). Tahun 2010 hanya satu film yang jumlah penontonnya di
atas satu juta: Sang Pencerah (1,2 juta).
Dari 14 film di atas, setidaknya setengahnya bisa kita jadikan pembelajaran. Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta,
Ketika Cinta Bertasbih, Ketika Cinta Bertasbih 2, dan Sang Pemimpi adalah adaptasi novel populer. Laporan media
kala film-film tersebut beredar menyebutkan bahwa banyak orang-orang yang mengajak keluarganya ke bioskop. Jumlah
penonton film-film tersebut banyak dipompa oleh para pembaca buku-buku tersebut, yang tidak semuanya konsumen
reguler bioskop. Pola serupa terjadi di Sang Pencerah, bedanya film garapan Hanung Bramantyo banyak menarik
penonton dari kalangan Muhammadiyah. Sementara itu, Garuda di Dadaku beredar beberapa bulan setelah kiprah timnas
sepak bola Indonesia di SEA Games 2009. Selain itu, film tentang sepak bola sungguhlah jarang. Relevansi sosial dan
nilai kebaruan (novelty value) menjadikan Garuda di Dadaku atraksi yang menarik bagi penggemar bola di negeri ini,
yang tentunya tidak semuanya rajin menonton film di bioskop.
Relevansi Sosial dan Nilai Kebaruan
Mari perhatikan lima besar film nasional di semester gasal ini. Di puncak ada The Raid. Film garapan Gareth Evans
ini menjadi menarik karena dua alasan. Pertama, karena film laga produksi lokal sungguh langka pasca kebangkitan
sinema nasional tahun 1999. Hanya ada 17 film laga yang diproduksi lima tahun terakhir ini. Kedua, The Raid
memperoleh eksposur publik yang cukup besar terkait dengan sirkulasi internasionalnya dan keterlibatan Mike Shinoda
dari grup musik populer Linkin Park. Nilai kebaruan dan kekuatan promosi menjadikan The Raid menarik banyak
perhatian, yang kemudian terwujud dengan jumlah penonton di atas satu juta.
Negeri 5 Menara mirip-mirip kasusnya dengan Laskar Pelangi dan adaptasi novel-novel populer lainnya. Film tersebut
banyak menarik penonton dari kalangan pembaca bukunya. Hafalan Shalat Delisa punya relevansi sosial dan nilai
kebaruan tersendiri, mengingat ceritanya berkaitan dengan tsunami Aceh tahun 2004. Atas dua hal tersebut, film
garapan Sony Gaokasak mampu menjadi sleeper hit. Bahkan sejumlah laporan media menyebutkan Hafalan Shalat Delisa
banyak ditonton ibu-ibu pengajian, kalangan yang tak biasa diasosiasikan dengan bioskop. Begitu juga halnya dengan
Soegija. Lima tahun yang lalu, ada yang bisa membayangkan sebuah film tentang pastur beredar di jaringan bioskop
komersial? Film epik yang disutradarai Garin Nugroho itu pun bisa bicara untuk dua kalangan penonton sekaligus.
Bagi orang awam, Soegija punya nilai kebaruan tersendiri. Bagi kaum nasrani, Soegija punya koneksi yang kuat.
Benang merah dari semua ini adalah relevansi sosial dan nilai kebaruan, dua hal yang kian absen di kala film-film
nasional makin seragam pola dan subyek penuturannya. Mengacu pada statistik tiga tahun belakangan, ada empat genre
yang diproduksi secara besar: drama, horor, horor-komedi, dan komedi. Sejauh ini, film drama adalah genre yang
terus-menerus mencoba hal baru, menjelajahi tema-tema dari cinta-cintaan, religi, hingga olahraga. Jangan lupakan
juga, sejumlah film drama yang mengambil latar di luar Jawa, suatu trend yang mulai memperoleh momentum sejak tahun
lalu. Sebaliknya, film horor lokal saat ini terjebak pada narasi klise anak-muda-versus-dedemit (dedemitnya sendiri
variannya hanya pocong dan kuntilanak). Film horor-komedi akhir-akhir ini malah jadi semacam panggung bagi pelawak
dengan cerita horor yang diselip-selipkan. Sementara itu, film komedi beberapa tahun belakangan ini kian dipenuhi
cerita-cerita bertema “dewasa” dengan judul-judul vulgar, macam Enak Sama Enak, Pijat Atas Tekan Bawah, dan Susah
Jaga Keperawanan di Jakarta.
Bukannya mau menyalahkan genre film horor, horor-komedi, dan komedi. Bagaimana pun juga genre-genre tersebut
jugalah rumah bagi sejumlah film berkualitas, macam Keramat, Pocong 2, trilogi Get Married, dan Nagabonar Jadi 2.
Bukan genre-nya yang patut kita kritisi, namun modus produksinya. Menurut sumber FI, mayoritas film horor dan
horor-komedi diproduksi dengan bujet di antara satu sampai dua miliar rupiah, malah bisa di bawah satu miliar.
Apabila kita mengibaratkan satu tiket bioskop bernilai Rp10.000 bagi pembuat film (harga tiket rata-rata Rp22.000,
dibagi dua, kemudian dikurangi pajak), berarti 100 ribu sampai 200 ribu penonton sudah balik modal atau untung bagi
produsen film horor dan horor-komedi ini.
Modus produksi serba hemat ini jelas menjanjikan prospek ekonomi yang aman. Terbukti, film horor dan horor-komedi
punya daya serap penonton yang cukup tinggi, dan menjadi genre film lokal yang mendapat masa tayang yang cukup
panjang di bioskop, setidaknya selama tiga tahun terakhir. Namun, melihat perkembangan belakangan ini, modus
produksi tadi takkan lagi aman secara finansial. Kembali mengacu pada statistik, di semester gasal tahun ini, total
ada empat film horor dan horor-komedi yang jumlah penontonnya di bawah 100 ribu, suatu hal yang hanya terjadi dua
kali sepanjang tahun lalu. Tanda-tanda kejenuhan? Bisa jadi.
Di saat kejenuhan mulai terjadi, bukankah itu pertanda sekarang waktunya mulai mengambil risiko dengan mencoba
hal-hal baru? Penonton tidak mencari film bagus (dan kata “bagus” sendiri relatif), tapi mencari film yang menarik
baginya. Tak semua penonton Indonesia punya koneksi dengan cerita hantu-hantuan dan komedi bertema dewasa. Masih
banyak hal di luar sana yang bisa diolah ke layar lebar. Saat ini, tidak mengambil risiko bisa jadi adalah tindakan
paling berisiko.